Sebagian pemeluk Islam ada yang mem eringati malam nisfhu Sya’ban (malam kelima belas bulan Sya’ban) dengan melalui cara menyelenggarakan pelbagai macam acara dan ritual ibadah pada malamitu . Untuk bisa mendapatkan keterangan yang lebih jelas mengenai peringatan ini, maka pada edisi Al-Hujjah akan mengetengahkan sebuah ringkasan dari tulisan seorang ulama’ besar, Syaikh Abdul Azis bin Abdullah bin Baz, yang juga sebagai ketua kibarul ulama’ dan juga panitia tetap riset dan fatwa di Arab Saudi, dn mayoritas ulama kontemporer merujuk padanya dalam beberapa persoalan pelik.
Segala puji hanyalah milik Allah, yang telah menyempurnakan agamaNya kepada kita. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad sallallahu ‘alahi wa sallam, penyeru kepada pintu tauhid dan pembawa rahmat.
Amma ba’du.
Allah telah berfirman: “Pada hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu dan telah Kucukupkan nikmatKu dan telah Kuridhoi Islam itu sebagai agama bagimu” (Al-Maidah: 3). Nabi Muhammad sallallahu ‘alahi wa sallam bersadda: “Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitab Allah, dan sebaik-baik jalan hidup adalah jalan hidup Muhammad, dan seburuk-buruk perkara (dalam agama) ialah yang diada-adakan (bid’ah), dan setiap bid’ah itu sesat” (HR. Muslim).
Dan masih banyak ayat dan hadits yang senada yang menunjukkan bahwasanya Allah sudah menyempurnakan Agama ini. Dia tidak mewafatkan Nabinya sallallahu ‘alahi wa sallam kecuali sesudah beliau sudah menyampaikan risalah dan kejelasan kepada ummat seluruh syari’at Allah, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Beliau menjelaskan juga bahwa segala sesuatu yang diada-adakan oleh setiap orang sepeninggalnya (dalam masalah agama) dan dinisbatkan kepada ajaran Islam, baik berupa ucapan ataupun perbuatan, semua merupakan bid’ah yang tertolak, meskipun orang yang mengada-adakannya itu berniat baik.
Para rekan Muhammad sallallahu ‘alahi wa sallam dan ulama’ yang datang sesudah mereka mengetahui hal ini. Maka mereka mengingkari segala macam bid’ah dan memperingati kita agar menjauhinya.
Diantara bid’ah yang sering dilakukan oleh kebanyakan orang adalah bid’ah dalam peringatan malam nishfu Sya’ban dengan pengkhususan puasa pada hari itu. Padahal tidak ada satupun dalil yang dapat dijadikan pedoman. Ada hadits tentang fadhilah (keutamaan) malan ini, namun dho’if (lemah), tidak boleh dijadikan sandaran. Sedangkan hadits yang berkenaan dengan keutamaan sholat pada malam ini adalah maudhu’ (palsu).
Memang benar ada beberapa riwayat mengenai malam nisfu Sya’ban berasal dari sebagian salaf (pendahulu) penduduk Syam dan lainnya, namun pendapat yang dianut jumhur (mayoritas) ulama’ ialah peringatan pada malam nishfu Sya’ban adalah bid’ah dan hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaannya semua besifat dho’if (lemah) dan sebagian lagi maudhu’ (palsu). Diantara ulama yang memperingatinya hal tersebut adalah Al-Hafizh Ibn Rajab dalam kitab Latha’iful Ma’aif dan ulama-ulama lain .
Hadits-hadits dho’if hanya bisa diamalkan didalam ibadah jika asalnya didukung oleh dalil yang shohih. Adapun, untuk peringatan malam nishfu Sya’ban tidak ada hadits shohih yang kuat mendasarinya, sehingga hadits-hadits dho’if itu tidak dapat dijadikan sebagai pendukungnya.
Para ulama sepakat, bahwa wajib mengembalikan segala bentuk permasalahan yang diperselisihkan kepada Kitab Allah dan Sunnah RasulNya. Apa saja yang sudah digariskan hukumnya oleh kedua sumber ini atau salah satu darinya, maka wajib untuk diikuti, dan apa pun yang bertentangan dengan keduanya maka wajib ditinggalkan. Sedangkan apapun ibadah yang tidak disebut oleh keduanya adalah bid’ah, tidak boleh lagi dikerjakan, apalagi mengajak untuk sekedar mengerjakannya atau memujinya. (QS. 4:59, 42:10, 3:31, 4:65).
Mengenai masalah nishfu Sya’ban, Ibn Rajab dalam kitab nya Latha’iful Ma’arif mengatakan: “Para tabi’in dari ahli Syam (sekarang Syiria. red) seperti Kholid bin Ma’dan, Makhul, Luqman bin Amir dan yang lain. Pernah mengagung dan berijtihad melakukan ibadah pada saat malam nishfu Sya’ban, kemudian orang-orang berikutnya mengambil keutamaan dan pengagungan itu daripada mereka." Dikatakan juga , bahwa mereka melakukan perbuatan sepeti itu karena adanya cerita-cerita isra’illyat. Ketika masalah ini menyebar ke berbagai pelosok negeri, maka berselisihlah kaum muslimin, ada yang menerima dan ada yang menyetujuinya, ada pulayang mengingkarinya. Golongan yang menerima adalah ahli ibadah dari Bashrah dan kota lain . Sedangkan golongan yang mengingkarin yaitu sebagian besar ulama’ hijaz, seperti Atha’ Ibn Abi Malaikah dan –menurut penukilan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam- para fuqaha’ (ahli fiqih) Madinah, ini juga merupakan para pengikut Imam Malik dan lainnya. Menurut mereka, semua perbuatan ini adalah bid’ah.
Ibn Rajab selanjutnya berkata bahwa tidak ada suatu ketetapan apapun tentang masalah nishfu Sya’ban ini baik dari sallallahu ‘alahi wa sallam maupun dari para sahabat. Adapun pendapat Imam Al-Auza’i tentang (dianjurkan) sholat malam nishfu Sya’ban, maka hal ini aneh dan lemah. Karena semua perbuatan, bila tidak ada dalil syar’i yang menetapkannya, maka tidak boleh bagi seorang muslim mengada-adakannya, baik itu dikerjakan secara individu maupun kolektif (berjama’ah), secara sembunyi maupun terang-terangan. Berdasarkan keumuman hadits Nabi sallallahu ‘alahi wa sallam: “Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka (perbuatan) itu tertolak.” (HR. Muslim) serta dalil-dalil lainnya yang mengingkari perbuatan bid’ah dan memperingatkan agar dijauhi.
Imam Abu Bakar Ath-Thurthusyi rahimahullah dalam kitabnya Al-Hawadits wal Bida’ mengatakan: “Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah dari Zaid bin Aslam, katanya: “Kami tidak menjumpai seorangpun dari guru kamu dan ahli fiqih kami yang memperingati malam Nishfu Sya’ban, ataupun mengindahkan hadits Makhul. Merekapun tidak memandang adanya keutamaan pada tersebut dari malam-malam lainnya. Dikatakan kepada Ibnu Abi Mulaikah bahwa Zaid An-Numairi menyatakan: “Pahala yang didapat (dari ibadah) pada malam nishfu Sya’ban menyamai pahala Lailatul Qadar.” Beliau serta menjawab: “Seandainya saya mendengarnya sedang ditangan saya ada tongkat, pasti saya pukul. Ziad adalah seorang pendongeng.”Al-Allamah Asy-Syaukani rahimahullah dalam kitabnya Al-Fawaid Al-Majmu’ah berkata. Hadits “Wahai Ali siapa yang melakukan shalat pada malam nishfu Sya’ban sebanyak seratus rakaat, pada setiap rakaat ia membaca Al-Faatihah dan Qul huwallahu ahad sebanyak sepuluh kali, pada Allah memenuhi segala hajatnya…dst.” Hadits ini adalah Maudhu (palsu). Lafadznya yang menerangkan tentang pahala yang akan diterima oleh pelakunya tidak diragukan lagi kelemahannya bagi orang yang berakal. Sanadnya pun Majhul (tidak dikenal). Telah diriwayatkan dari jalan kedua dan ketiga, tetapi semuanya Maudhu, dan para periwayatnya adalah orang-orang yang tidak dikenal.”
Dalam Kitab Al-Mukhtashar, Asy-Syaukani menyatakan: “Hadits yang menerangkan Shalat nishfu Sya’ban adalah bathil. Sedangkan hadits: “Jika datang malam nishfu Sya’ban maka shalatlah pada malam harinya dan berpuasalah pada siang harinya” yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari Ali adalah Dha’if.”
Dalam Kitab Al-La’ali dinyatakan, hadits: “Seratus rakaat pada malam nishfu Sya’ban dengan ikhlash pahalanya sepuluh kali lipat”, yang diriwayatkan oleh Ad-Dailami adalah Maudhu dan mayoritas periwayatnya pada ketiga jalan hadits ini adalah orang-orang yang majhul dan dha’if. Kata Imam Syaukani: “Hadits yang menerangkan, du belas rakaat dengan ikhlash pahalanya tiga puluh kali lipat dan hadits empat belas rakaat dan seterusnya, adalah Maudhu.”
Diantara para Fuqaha (alhi fiqh) ada yang tertipu dengan hadits-hadits diatas, seperti pengarang Ihya ‘Ulumuddin dan lainnya, juga sebagian ahli tafsir.
Al-Hafidz Al-Iraqi menyatakan: “Hadits yang menerangkan tentang shalat nishfu Sya’ban adalah Maudhu dan pendustaan atas diri Rasullullah sallallahu ‘alahi wa sallam.
Dalam Kitab Al-Majmu’, Imam An-Nawawi menyatakan: “Shalat yang dikenal dengan shalat Raghaib yang berjumlah dua belas rakaat dan dikerjakan antara maghrib dan isya pada malam jumat pertama bulan Rajab, serta shalat malam nishfu sya’ban yang berjumlah seratus rakaat adalah bid’ah yang mungkar, tidak boleh seseorang terperdaya oleh karena kedua shalat itu disebut dalam Kitab Qutul Qulub dan Ihya Ulumuddin, atau karena berdasarkan hadits yang disebutkan pada kedua kitab tersebut, sebab semuanya adalah bathil. Tidak boleh seseorang terperdaya oleh ulah sebagian tokoh, yang belum jelas baginya hukum kedua shalat ini, lalu mengarang dalam beberapa lembar kertas untuk menganjurkannya. Ini adalah tindakan menipu.”
Masih banyak ucapan para ulama dalam hal ini. Kalau kita mau menukil semua tentu akan panjang sekali. Semoga apa yang kami sebutkan diatas cukup memuaskan bagi pencari kebenaran.
Dari beberapa ayat Al-Qur’an, hadits dan pernyataan para ulama diatas, jelaslah bagi pencari kebenaran bahwa peringatan malam nishfu Sya’ban dengan shalat atau amalan lainnya, serta pengkhususan siang harinya dengan puasa itu semua adalah bid’ah yang mungkar menurut jumhur ulama, tidak ada dasar sandarannya dalam syari’at Islam, bahkan merupakan perbuatan yang diada-adakan, cukuplah bagi pencari kebenaran dalam masalah ini, juga masalah lainnya firman Allah: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu…” (Al-Maidah: 3)
Andaikata malam nishfu Sya’ban dikhususkan dengan acara atau ibadah tertentu, pastilah Nabi sallallahu ‘alahi wa sallam memberikan petunjuk pada umatnya, atau beliau sendiri yang mengerjakannya. Dan jika hal itu memang pernah terjadi, niscara telah disampaikan oleh para sahabar kepada kita, mereka tidak akan menyembunyikannya, karena mereka adalah sebaik-baik manusia yang paling tulus setelah para nabi. Maka jelaslah, memperingati malam nisfu Sya’ban adalah bid’ah.
Semoga Allah SWT melimpahkan limpahan taufik-Nya kepada kita dan semua kaum muslimin untuk berpegang teguh kepada sunnah dan selalu menetapinya, serta mewaspadai banyak hal yang bertentangan dengannya. Sungguh Dia Maha Mulia dan Maha Pemberi. Wallahu a’lam.
No comments:
Post a Comment